Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Kemajuan Bangsa
Pendidikan Karakter Harus Digalakkan!!
Persoalan yang dihadapi bangsa ini dari hari ke hari makin banyak tanpa ada titik terang penyelesaian. Semua lini kehidupan mengalami persoalan dan cobaan yang tak habis-habisnya, bahkan semakin parah kekerasan demi kekerasan terjadi di Indonesia merupakan suatu indikasi bahwa masyarakat kita sudah terkondisi dalam budaya tanpa hukum. Maka ketika terjadi kekerasan demi kekerasan yang dilakukan sekelompok front atau laskar, masyarakat menganggapnya biasa saja. Banyak korban yang telah jatuh karena berbagai konflik politik, etnis, dan agama. Semua ini mengindikasikan kekerasan telah diterima oleh sebagian masyarakat kita sebagai suatu kebiasaan, yang bukan kejahatan, tetapi dijadikan santapan sehari-hari dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup.
Sekolah-sekolah memang melahirkan manusia cerdas, namun kurang memiliki kesadaran akan pentingnya nilai-nilai moral dan sopan santun dalam hidup bermasyarakat. Hal ini tampak dalam kasus tawuran antar sekolah, antar fakultas, antar perguruan tinggi dan tindakan kekerasan yang hidup di dunia pendidikan formal. Lulusan perguruan tinggi yang mulai bekerja, tergiur berbuat tidak jujur karena tidak punya pegangan kebajikan. Sebagian mahasiswa kita merasa bangga jika kuliah tidak ada dosennya, perpustakaan banyak kosong, internet digunakan untuk hal-hal yang tidak terpuji, alergi buku berbahasa asing, plagiator. Sehingga berakibat terbentuk watak ataupun karakter manusia yang memandang rendah nilai-nilai agama, hukum, dan adat.
Pengertian Nilai dan Karakter
Istilah karakter (character) atau dalam bahasa Indonesia di terjemahkan dengan watak, adalah sifat-sifat hakiki seseorang atau suatu kelompok atau bangsa yang sangat menonjol sehingga dapat di kenali dalam berbagai situasi atau merupakan trade mark orang tersebut (Tilaar, 2008)
Licona (1991) merujuk pada konsep good character yang di kemukakan oleh Aritoteles”...the life of right conduct-right conduct in relation to other persons and in relation to one self ” (karakter dapat di maknai sebagai kehidupan berperilaku baik penuh kebijakan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan YME, manusia, dan alam semesta dan terhadap diri sendiri).
Licona (1991) merujuk pada konsep good character yang di kemukakan oleh Aritoteles”...the life of right conduct-right conduct in relation to other persons and in relation to one self ” (karakter dapat di maknai sebagai kehidupan berperilaku baik penuh kebijakan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan YME, manusia, dan alam semesta dan terhadap diri sendiri).
Sementara martadi (2010) memberikan pengertian pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntutan peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Peserta didik di harapkan memiliki karakter yang baik meliputi kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat, peduli dan kreatif. Karakter tersebut di harapkan menjadi kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah rasa Hati, Pikir, Raga, serta Rasa dan Karsa. Selanjutnya, dalam pengertian yang lebih luas, Martadi (2010) memberikan batasan bahwa pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, serta memelihara apa yang sudah baik, dan mengimplemntasikan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pendidikan karakter itu adalah pendidikan nilai. Apa nilai-nilai itu? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal apa yang dipandang manusia sebagai indah, apa yang mereka senangi. Sementara, etika mengacu kepada hal-hal tentang tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang ber¬sumber dari agama, adat-istiadat, konvensi, dan sebagainya.
Menurut Foerster (Koesoema, 2006), ada 4 (empat) ciri dasar dalam pendidikan karakter, yaitu: Pertama, keteraturan setiap tindakan dan diukur berdasarkan hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberikan keberanian terhadap karakter seseorang, membuat seseorang teguh pada prinsip-prinsipnya, tidak mudah bimbang atau terombang ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya diri terhadap satu sama lain. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai yang mengakar dalam diri pribadi pribadi . Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau intervensi dari pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini atau konsisten tetap melakukan apa yang dilakukan apabila dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Semakna dengan Foerster, Lickona (1991) menyebutkan ada 10 (sepuluh) pilar ciri dasar pendidikan karakter, yaitu: Trust worthiness; Respect; Responsibility, Fairness; Caring; Honesty; Courage; Diligence; Integritydan Citizenship.
Upaya membangun karakter bangsa sebenarnya sudah diderukan semasa awal kemerdekaan Indonesia. Soekarno sebagai salah satu pendiri bangsa (The Founding Father) telah menegaskan pentingnya nation and character building. Proklamasi kemerdekaan hanyalah sebagai jembatan emas untuk membangun bangsa dan karakter, sebab bangsa yang tidak memiliki karakter akan terombang-ambing di tengah pergaulan internasional. Oleh karena itu, Pancasila selain difungsikan sebagai dasar negara juga sebagai pandangan hidup dan ideologi.
Fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan prinsip-prinsip dasar yang diyakini kebenarannya yang kemudian dijadikan pedoman dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan. Sebagai implikasi Pancasila sebagai pandangan hidup, maka Pancasila juga merupakan jiwa dan kepribadian, dan sekaligus menjadi moral dan karakter bangsa Indonesia. Oleh karena itu, upaya membangun bangsa tidak bisa dilepaskan dari Pancasila yang menurut Notonagoro nilai-nilainya digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri.
Tujuan, Fungsi dan Media Pendidikan Karakter
Dalam buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 di paparkan tujuan, fungsi dan media pendidikan karakter. Pendidikan karakter bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Fungsi dari pendidikan karakter adalah (1) mengembangkan potensi dasar yang dimiliki oleh setiap individu agar memiliki jiwa berhati baik, berpikiran positif, dan berperilaku positif; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur dan toleran; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dan aktif dalam pergaulan dunia. Implementasi penerapan pendidikan karakter dapat dilakukan melalui berbagai media sehingga memberikan banyak pelunag bagi pendidik untuk mengimplementasikan pendidikan karakter, media ini mencakup lingkungan keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, bahkan sampai melalui media masa dan elektronik.
Tantangan Penerapan Pendidikan Karakter
Internalisasi nilai karakter dalam pebelajaran memiliki beberapa kendala. Kendala-kenadala ini muncul baik pada tingkat perencanaan, pelaksanaan, dan komponen pendukung. Pendidikan saat ini mengutamakan aspek kognitif dan psikomotoriknya ketimbang efektifnya mendorong siswa mencontek. Model evaluasi melalui ujian nasionalnya ketimbang aspek kejujuran
1. Perilaku Kekerasan
Selama tahun 2017, dunia pendidikan kita juga diwarnai oleh tindakan kekerasan yang kerap dialami oleh peserta didik maupun pendidik itu sendiri baik yang bersifat fisik maupun psikis. Kekerasan tidak lagi didominasi oleh lingkungan sekolah-sekolah kedinasan, tetapi juga sekolah-sekolah umum.
2. Munculnya Benih Paham Radikalisme dan Krisis Nasionalisme
Mungkin tidak terlalu tepat jika disimpulkan bahwa banyak anak didik usia sekolah sudah terpapar ideologi radikal. Namun jika mengikuti banyak survey menunjukkan terdapat benih-benih radikalisme dan disaat yang sama krisis nasionalisme meningkat. Dua isu baru inilah yang mesti mendapatkan perhatian dari untuk melakukan penataan dan perbaikan terhadap penyelenggaraan pendidikan Indonesia, karena jika elemen tersebut menguat akan menjadi batu sandungan bagi pencapaian tujuan-tujuan pendidikan kita. Survei terbaru (2017) yang dilakukan oleh Alvara Research Center pada SMA Negeri di Jawa dan beberapa kota luar Jawa misalnya menunjukkan bahwa terhadap para pelajar dan mahasiswa antara lain menyebutkan 23,5 persen mahasiswa dan 16,3 persen pelajar SMA setuju dengan terbentuknya negara Islam. Tak hanya itu, sebanyak 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar menyatakan rela berjihad demi tegaknya negara Islam atau khilafah. Hasil survei juga mencatat 18,6 persen mahasiswa dan 16,8 persen pelajar memilih ideologi Islam lebih tepat untuk Indonesia.
Selanjutnya, sebanyak 17,8 persen mahasiswa dan 18,3 persen pelajar menyatakan setuju khilafah sebagai bentuk negara. Adapun mahasiswa yang menyatakan siap berjihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah sebesar 23,4 persen dan pelajar sebesar 23,3 persen. Survey itu telah melengkapi survey-survei lain sebelumnya yang menunjukkan kecenderungan yang sama, seperti survei SETARA Institute for Democracy and Peace (SIDP) yang dilakukan pada siswa SMA negeri di Bandung dan Jakarta pada tahun 2015 menunjukkan, bahwa sekitar 8,5 persen siswa setuju dasar negara Indonesia yaitu Pancasila diganti dengan dasar agama dan 9,8 persen siswa mendukung gerakan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Meski relatif sedikit, fakta ini mengkhawatirkan karena sekolah negeri selama ini cukup menekankan kebangsaan.
Selanjutnya, sebanyak 17,8 persen mahasiswa dan 18,3 persen pelajar menyatakan setuju khilafah sebagai bentuk negara. Adapun mahasiswa yang menyatakan siap berjihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah sebesar 23,4 persen dan pelajar sebesar 23,3 persen. Survey itu telah melengkapi survey-survei lain sebelumnya yang menunjukkan kecenderungan yang sama, seperti survei SETARA Institute for Democracy and Peace (SIDP) yang dilakukan pada siswa SMA negeri di Bandung dan Jakarta pada tahun 2015 menunjukkan, bahwa sekitar 8,5 persen siswa setuju dasar negara Indonesia yaitu Pancasila diganti dengan dasar agama dan 9,8 persen siswa mendukung gerakan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Meski relatif sedikit, fakta ini mengkhawatirkan karena sekolah negeri selama ini cukup menekankan kebangsaan.
Benih-benih ini jika berkembang akan mengikis nasionalisme dan integrasi kita sebagai bangsa yang beragam. Oleh karena itu pendidikan kita harus dapat membangun kepercayaan pada anak didik bahwa Indonesia adalah tempat yang dapat menjamin kehidupan yang damai, bebas menjalankan syariat agama dan keyakinanya masing-masing tanpa harus meniadakan satu dengan yang lainnya.
3. Kontaminasi Politik dalam Pendidikan
Indonesia sudah memutuskan sebagai negara demokratis yang menjadikan pemilihan langsung untuk memilih pejabat-pejabat publik sebagai instrumen utamanya. Telah dibuktikan dalam praktik kegiatan pemilu dan pilkada yang baru saja digelar di Indonesia, terlihat masyarakat riuh dan sangat intens dilibatkan dalam kegiatan politik, sehingga seringkali sulit dipisahkan batasan antara kepentingan politik (praktis) dengan lainnya, termasuk pendidikan.
Pengalaman pemilu dan pilkada yang lalu, banyak aktor politik maupun birokrasi politik menarik entitas-entitas pendidikan, baik anak murid, guru, mahasiswa dan dosen bahkan institusi pendidikan diserat ke dalam politik dukungan untuk meraih kekuasaan politik. Sehingga tujuan-tujuan pendidikan terkontaminasi dengan kepentingan politik. Ada banyak kepentingan pendidikan terbengkalai karena urusan politik.
Pengalaman pemilu dan pilkada yang lalu, banyak aktor politik maupun birokrasi politik menarik entitas-entitas pendidikan, baik anak murid, guru, mahasiswa dan dosen bahkan institusi pendidikan diserat ke dalam politik dukungan untuk meraih kekuasaan politik. Sehingga tujuan-tujuan pendidikan terkontaminasi dengan kepentingan politik. Ada banyak kepentingan pendidikan terbengkalai karena urusan politik.
Upaya Strategis Generasi Muda Guna Mengembangkan Karakter
Sebagai pembangun karakter bangsa di tengah derasnya arus glonalisasi, kemudian dengan sejumlah erosi karakter positif bangsa seperti amplifikasi atau penguatan nilai negatif, seperti malas, koruptif, dan sebagainnya. Peran ini tentunya sangat berat, namun esensinya adalah adanya kemauan keras dan komitmen dari generasi muda untuk menjunjung nilsi-nilsi moral di atas kepentingan sesaat.
Sebagai pemberdaya karakter, pembangunan kembali nilai karakter harus terus di lakukan secara kontinyu, sehingga generasi muda juga di tuntut untuk mengambil peranan sebagai pemberdaya karakter atau character enabeler. Bentuk praktisnya adalah kemauan dan hasrat yang kuat untuk menjadi role model dari pengembangan katrakter bangsa yang positif.
Sebagai perekasaya karakter (character engineer) sejalan dengan adanya adaptifitas daya saing untuk memperkuat ketahanan bangsa , peran terakhir ini menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran, harus di akui pengembangan karakter bangsa perlu adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat di sesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh karakter pejuang bukan hanya di artikan dalam konteks fisik melainkan juga dalam konteks non fisik. Maka peran pemuda pending untuk menggerakkan tiga peranan ini secara simultan dan interaktif
Sebagai pemberdaya karakter, pembangunan kembali nilai karakter harus terus di lakukan secara kontinyu, sehingga generasi muda juga di tuntut untuk mengambil peranan sebagai pemberdaya karakter atau character enabeler. Bentuk praktisnya adalah kemauan dan hasrat yang kuat untuk menjadi role model dari pengembangan katrakter bangsa yang positif.
Sebagai perekasaya karakter (character engineer) sejalan dengan adanya adaptifitas daya saing untuk memperkuat ketahanan bangsa , peran terakhir ini menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran, harus di akui pengembangan karakter bangsa perlu adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat di sesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh karakter pejuang bukan hanya di artikan dalam konteks fisik melainkan juga dalam konteks non fisik. Maka peran pemuda pending untuk menggerakkan tiga peranan ini secara simultan dan interaktif
Strategi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dalam pemberdayaan peserta didik kadang memiliki nilai-nilai luhur dan berperilaku berkarakter yang dilakukan melalui pusat pendidikan yaitu; pendidikan dikeluarga, pendidikan di sekolah dan pendidikan dimasyarakat. Untuk diterapkan secara nyata di dalam kehidupan bermasyarakat, juga harus tercermin dalam kegiatan di dunia usaha atau dunia kerja. Pengembangan pendidikan budaya dan karakter pada prinsipnya tidak terbentuk sebagai pokok bahasan atau sebagai mata pelajaran tertentu, tetapi terintregrasi kedalam setiap mata pelajaran yang diberikan di sekolahan. Program pengembangan diri melalui ekstrakurikuler, dan budaya sekolah dalam bentuk pembiasaan pendidikan karakter disekolah dilakukan melalui nilai-nilai kebajikan yang menjadi nilai budaya dan karakter bangsa. Adapun tujuan pendidikan karakter melalui pendidikan diekolah adalah untuk mengembangkan potensi Qalbu, nurani, dan efektif para peserta didik. Peserta didik manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan berkarakter.
Pendidik dan sekolah perlu mengintregasikan nilai-nilai yang akan dikembangkan kedalam pendidikan budaya dan karakter bangsa kepada peserta didik, serta dengan rasa nasionalisme yang tinggi dan penuh kekuatan. Prinsip pembelajaran yang di gunakan dalam pengembangan karakter bangsa Indonesia khususnya pada generasi muda adalah dengan mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya berkarakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil melalui tahapan pemilihan.dengan prinsip ini peserta didik belajar melalui proses berfikir bersikap dan berbuat. Pada dasarnya nilai-nilai luhur tersebut tidak diajarkan tetapi di kembangkan dan proses pendidikan yang dijalani oleh peserta didik dilakukan secara aktif
Pendidik dan sekolah perlu mengintregasikan nilai-nilai yang akan dikembangkan kedalam pendidikan budaya dan karakter bangsa kepada peserta didik, serta dengan rasa nasionalisme yang tinggi dan penuh kekuatan. Prinsip pembelajaran yang di gunakan dalam pengembangan karakter bangsa Indonesia khususnya pada generasi muda adalah dengan mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya berkarakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil melalui tahapan pemilihan.dengan prinsip ini peserta didik belajar melalui proses berfikir bersikap dan berbuat. Pada dasarnya nilai-nilai luhur tersebut tidak diajarkan tetapi di kembangkan dan proses pendidikan yang dijalani oleh peserta didik dilakukan secara aktif
Baca Juga
Post a Comment
Post a Comment